<$BlogRSDUrl$>

Thursday, October 16, 2003

Perang Di Irak, Perang Di Aceh
Militerisme AS Demi Berlangsungnya Kapitalisme Global

(dimuat dalam Pembebasan 8/2003)

Tak lama setelah dikuasainya Irak oleh AS dan sekutu-sekutunya, Rejim Megawati-Hamzah seperti tak mau ketinggalan dalam gerbong genderang perang kapitalis terhadap rakyat miskin. Tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah RI menyatakan Aceh di bawah kekuasaan darurat militer dan unit-unit TNI dan Polri dengan segera bergerak maju menghantam daerah-daerah yang dikatakan sebagai basis GAM.

Pola serangannya benar-benar mirip, meski ada konteks yang jelas berbeda. Jika AS dan sekutu-sekutunya menggunakan PBB dan tim inspeksi senjata pemusnah massal untuk kasus Irak, TNI menggunakan COHA (perjanjian penghentian permusuhan) untuk memetakan kekuatan GAM. Di Afghanistan AS menggunakan pembagian makanan dan obat-obatan untuk menurunkan derajat permusuhan rakyat atas serangan tentaranya, di Aceh rejim Megawati-Hamzah mengikutkan bantuan pangan dan uang agar rakyat pedesaan Aceh mau mengungsi ke kota-kota sehingga GAM kehilangan jalur-jalur logistiknya. Baik AS maupun Megawati-Hamzah menggunakan jumlah pasukan yang besar, persenjataan berat, dan tak ragu menembaki rakyat sipil. Bahkan angka korban sipil dan pengungsi secara terang-terangan diramalkan oleh keduanya seperti layaknya ramalan cuaca.

Tak juga terlihat bedanya peran media massa besar, baik cetak maupun televisi, yang menyajikan kedua perang kolonial tersebut dalam kemasan yang membuat kekerasan militer adalah kehidupan sehari-hari, sesuatu yang harus dianggap wajar oleh rakyat. Dengan terang-terangan kebohongan yang dilakukan oleh Bush-Blair dan Megawati-Hamzah dipompakan dalam pesta pora penyebarluasan militerisme. Tak peduli dengan sudut pandang yang menjadi tradisi masing-masing media massa, dukungan pers dengan para reporter yang ikut dalam unit-unit tempur telah dimenangkan oleh para militeris, baik dari sipil ataupun militer sendiri, dalam pemerintahan Bush dan Megawati-Hamzah.

Yang membedakan antara Bush dan Megawati-Hamzah adalah kenyataan bahwa Bush adalah tuan tempat Megawati-Hamzah mengabdi. Inilah yang dapat kita jadikan sandaran untuk mengatakan argumen-argumen nasionalis Megawati-Hamzah, yang terus-menerus juga disuarakan oleh para militeris-fasis Susilo Bambang Yudhoyono, Endrartono Sutarto, Ryamizard Ryacudu, adalah sebuah kebohongan. Kepentingan imperialis di Aceh lah yang menjadi alasan penggunaan perang untuk menyelesaikan persoalan Aceh, demi meningkatkan “martabat” dan “gengsi” mereka di antara elit imperialis. Jika memang benar mereka menyerang Aceh karena untuk menjaga kesatuan RI, apakah mereka akan menyerang IMF dan Bank Dunia yang menghancurkan landasan ekonomi nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia? Sama halnya dengan kalimat perdamaian dalam Pakta Pendirian PBB, NKRI adalah mitos yang digunakan oleh kelas kapitalis untuk menggunakan kekuatan militer demi melindungi kepentingan mereka. Perang di Aceh dan Irak adalah perang kolonial untuk melindungi kepentingan-kepentingan imperialis di kedua wilayah tersebut. GAM dan Saddam harus pergi dan tak lagi mengganggu ladang minyak dan gas bumi milik imperialis AS.

Laju globalisasi, yang tidak lain adalah perluasan dan pendalaman pengaruh kekuasaan imperialisme AS dan sekutu-sekutunya, telah menciptakan berbagai macam ketidakstabilan. Penghancuran pasar-pasar domestik negeri-negeri dunia ketiga, melalui Program-Program IMF, tidaklah menyelesaikan krisis kelebihan kapasitas produksi. Tidak juga menjawab atas pertanyaan bagaimana menjual hasil-hasil produksi yang jumlahnya berlebihan di negara maju, yang menurunkan tingkat keuntungan yang diperoleh kapitalis negara maju. Malahan proses itu telah membuat elemen-elemen rakyat dunia ketiga melakukan perlawanan atas perampokkan yang mereka alami. Aksi-aksi rakyat dunia ketiga sangat jelas tidak dapat dihentikan oleh agen-agen mereka. Inilah yang kemudian menimbulkan kebutuhan imperialis AS untuk mengamankan hasil-hasil jarahannya. Lalu jalan militerlah, perang-perang di negeri-negeri dunia ketiga, yang kemudian menjadi jawaban kapitalis atas krisis keberlangsungan kapitalisme global.

Peta Militer Amerika di Dunia

Mari kita perhatikan pidato Bush di depan generasi baru militeris yang baru lulus dari akademi militer West Point, 1 Juni 2002:

“Banyak waktu dalam abad yang lalu, pertahanan Amerika mengandalkan doktrin penggertakkan (deterrence) dan pengungkungan (containment). Dalam beberapa kasus, strategi tersebut masih dapat berlaku. Tapi ancaman-ancaman baru juga memerlukan pemikiran baru. Penggertakkan—janji melakukan pembalasan besar-besaran terhadap bangsa lain—tak akan berguna untuk melawan jaringan teroris yang tak harus membela bangsa dan rakyat… Pengungkungan tak akan mungkin ketika diktator yang kuat bersenjatakan senjata pemusnah massal dapat meluncurkan senjata atau rudal tersebut ataupun memberikan senjata tersebut pada teroris sekutunya… Jika kita tunggu ancaman-ancaman tersebut mematangkan diri, kita akan terlalu lama menunggu… Perang Melawan Teror tak akan dimenangkan dengan cara bertahan. Kita harus bertempur melawan musuh-musuh kita, ganggu rencana-rencana mereka, dan hadapi ancaman yang terburuk sebelum ancaman tersebut muncul. Dalam dunia yang kita masuki saat ini, satu-satunya jalan yang menuju keamanan adalah bertindak. Dan bangsa Amerika akan bertindak.”

Pidato ini adalah gambaran paling tepat dari semangat kaum militeris Amerika. Bukan sebatas menunggu diserang, kini AS telah menebar ancaman serangan militer ke berbagai negara. Bahkan untuk kasus Iran dan Suriah, AS mampu melakukan serangan segera dengan kekuatan pasukannya yang ditempatkan di Timur Tengah. Dengan dua ratus ribu tentara, dengan 96.000 prajurit tempur dan tambahan 55000 tentara yang menuju daerah Teluk Persia, jelaslah bukanlah direncanakan untuk ‘membebaskan’ Irak. Untuk kasus Korea Utara, beberapa tahun terakhir kira-kira 85.000 prajurit AS ditempatkan di Jepang dan Korea Selatan. Secara keseluruhan, kira-kira setengah juta tentara AS bersama dengan 400 kompleks militer ditempatkan di seluruh belahan dunia. Jelas hal ini menempatkan AS sebagai negara yang paling berkuasa dan paling berpengaruh terhadap negara-negara lain. Bahkan, dengan kekuatan militernya, AS-lah yang paling mampu menjamin keberlangsungan dunia imperialis.

Hal ini disadari oleh negeri-negeri imperialis lain, yang kekuatan militernya jauh lebih kecil daripada AS. Selama Perang Dingin hanya blok Sovyet yang mampu menandingi kekuatan militer AS. Karena itu, meski selalu akan ada percekcokan antara negara-negara imperialis dengan AS, seperti yang dilakukan oleh Jerman dan Perancis sebelum Irak diserang, namun dengan segera negara-negara itu memperbaiki hubungannya dengan AS. Mereka juga tetap membutuhkan kehadiran militer AS di sekitar negeri-negeri dunia ketiga yang sedang menjadi target perampokkan imperialisme. Semua imperialis jelas memiliki kekhawatiran akan munculnya pemerintahan-pemerintahan yang independen, menolak masuk dalam arus globalisasi. Negara-negara yang dikategorikan sebagai The Rogue (penjahat), sebenarnya adalah negara-negara yang tidak bisa dimasuki oleh imperialis dengan program pasar bebasnya. Terlepas dari tingkat demokrasi negara tersebut, mereka memiliki kepentingan nasional yang masih utuh, biarpun didera oleh embargo ekonomi yang diberlakukan AS dan kekuatan militernya.

Segelumit Sejarah

Akan terlalu panjang untuk menderetkan sejarah aktivitas militer AS di seluruh dunia. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan melihat sedikit gambaran pokok mengenai langkah-langkah mereka dalam kaitan dengan kepentingan ekonomi politik di dunia.

Pembukaan akses masuk pasar dengan cara yang militeristik bukanlah metode yang baru bagi imperialisme AS. Bahkan cara ini menjadi ciri dari imperialisme AS dalam sejarah dunia abad 20. Ekspedisi-ekspedisi pembukaan pasar lebih banyak dilakukan AS, dibanding Jerman atau Jepang sebelum Perang Dunia I. Begitu para kapitalis nasionalnya membutuhkan pasar-pasar baru, dengan segera terjadi pengiriman pasukan. Sejarah mencatat bahwa wilayah barat AS, dari Texas sampai California, didapat dengan cara perampasan dari suku-suku Indian Amerika dan Negara Meksiko.

Menjelang perempat akhir abad 19, pasukan koalisi negara-negara imperialis yang masih muda bersatu menghantam kekuatan rakyat Cina yang menolak masuknya barang-barang negeri-negeri imperialis. Konflik yang dikenal sebagai Perang Boxer ini, menghasilkan pembagian wilayah-wilayah pelabuhan daratan Cina di antara para imperialis. Sebelumnya, ekonomi Jepang yang tertutup dipaksa dibuka oleh kehadiran kapal-kapal perang AS yang dipimpin oleh Laksamana Perry.

Konflik AS melawan rakyat Kuba bukanlah baru dimulai ketika kaum revolusioner di bawah pimpinan Castro dan Che Guevara merebut kekuasaan tahun 1958. Pada akhir abad 19, AS dengan terbuka melibatkan diri berperang bersama Spanyol untuk merebut Kuba. Pada saat itu, ada gerakan revolusioner rakyat Kuba melawan penjajahan Spanyol, yang mana perang tersebut membahayakan stabilitas perdagangan AS di Karibia. Bahkan pada saat itu, perlawanan terhadap penjajah Spanyol sedang meluas di berbagai negara, dalam bentuk yang revolusioner. Itulah yang menyebabkan AS, setelah berhasil meredam dan merepresi perlawanan rakyat Kuba, juga mengirimkan pasukannya ke berbagai negara Amerika Latin seperti Panama, El Salvador, dan lain-lainnya. Kemudian, pemerintahan-pemerintahan boneka pro AS segera didirikan. Namun, setelah Perang Dunia I, AS berulang kali mengirimkan pasukan ke negeri-negeri Amerika Latin untuk meredam pemberontakkan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintahan-pemerintahan boneka tersebut.

Setelah Perang Dunia II yang menempatkan AS dan Uni Soviet sebagai pemenang, gerakan revolusioner di negeri-negeri jajahan meluas dan muncul sebagai pemberontakkan pembebasan nasional. Cina, Indonesia, Vietnam, Aljazair, Korea, dan Malaysia, tiba-tiba menjadi ladang subur yang mengandung bibit-bibit pemerintahan pro rakyat, pemerintahan kiri. Satu per satu melepaskan diri dari ikatan kolonialnya dan merdeka. Namun sangat terlihat, kekuatan militer AS dengan segera turut campur untuk meredam gerakan-gerakan pembebasan nasional tersebut. Lepasnya negeri-negeri tersebut dari penjajah lama membuat AS mengirimkan agen-agen sabotase dan pasukan. Di Korea, atas nama Dewan Keamanan PBB, pasukan AS yang dipimpin Jenderal Douglas McArthur menyerang kota-kota yang dikuasai oleh Tentara Rakyat Korea, dan memaksakan pembagian Korea menjadi dua.

Perang Vietnam mungkin menjadi titik balik ekspansi militeristik AS dengan menggunakan penempatan pasukan secara besar-besaran. Berkekuatan setengah juta pasukan wajib militer (conscript) yang didukung oleh armada lautnya, AS mencoba meredam gerakan pembebasan nasional Vietnam. Namun rakyat Vietnam yang sebelumnya berhasil menghancurkan Kolonialisme Perancis, kemudian “menggulung” (meminjam bahasa Pramoedya Ananta Toer) militer superpower AS. Pelajaran dari Vietnam memang membuat taktik intervensi militer AS berbeda, dan semakin mengandalkan senjata jarak jauh dan senjata pemusnah massal. Pengiriman pasukan dalam jumlah besar memiliki resiko yang besar terhadap pemerintah AS sendiri. Setelah Perang Dunia II saja, terjadi gerakan menuntut pemulangan pasukan di antara tentara AS. Ketika Perang Vietnam berlangsung, tekanan rakyat AS yang bersolidaritas dengan rakyat Vietnam berubah menjadi gerakan yang setiap waktu bisa meledak menjadi pemberontakkan revolusioner.

Militerisme Sebagai Solusi

Kondisi krisis yang memuncak pada pertengahan tahun 2001 akhirnya membuat para kapitalis AS kembali mengutamakan kebijakan militerisme. Hal tersebut disebabkan berbagai kebutuhan mendesak para kapitalis untuk menjaga posisi kelas mereka.

Pertama, perlawanan terhadap kapitalisme dalam isu anti globalisasi telah mencapai tingkat mobilisasi massa yang tinggi. Bahkan perlawanan ini telah melahirkan embrio kerja sama antar rakyat dari berbagai negeri untuk melawan kapitalisme dan telah mewujudkan diri dalam mobilisasi puluhan sampai ratusan ribu massa untuk menantang setiap pertemuan para kapitalis dunia. Sampai-sampai pertemuan WTO dipindahkan ke Doha, Qatar, karena rasa takut kaum kapitalis atas militansi perlawanan anti kapitalisme. Kini menyebarluas di seluruh dunia, baik di negara-negara maju ataupun negara dunia ketiga, usaha-usaha untuk merampas demokrasi dengan pemberlakuan undang-undang anti teroris yang mengijinkan pengintaian terhadap organisasi atau individu yang digolongkan berpotensi menjadi teroris, penangkapan atas dasar kecurigaan, dan penahanan tanpa batas. Jika dilihat definisi terorisme yang ada di semua undang-undang, aksi mogok, pemogokkan umum, dan sejenisnya dapat digolongkan sebagai terorisme. Pemerintahan Bush baru-baru ini menambahkan 37 milyar dolar ke anggaran pertahanan dalam negeri yang sudah mencapai 29 milyar USD, seiring dengan pembangunan Departemen Keamanan Dalam Negeri dan penambahan kekuasaan dan tenaga kepolisian.

Kedua, seperti dalam krisis kapitalisme yang melatar belakangi Perang Dunia II, ada kebutuhan kapitalisme untuk menyelamatkan industri-industri besar yang mengalami kelebihan kapasitas produksi dengan mengedepankan kembali pengembangan industri militer. Untuk hal ini, tahun 2003 ini Kongres AS menyetujui penambahan 30 milyar USD atas anggaran militer AS, sehingga mencapai 330 milyar USD (sepuluh kali lipat dari APBN Indonesia). Untuk program pengembangan pesawat tempur baru, AS akan menghabiskan 200 milyar USD selama sepuluh tahun, sementara untuk program perlindungan AS terhadap rudal balistik akan menghabiskan 70 milyar USD selama 5 tahun. Selain menyelamatkan dunia industri, program-program militer ini dapat dipastikan membiayai pengembangan-pengembangan teknologi baru, membebaskan para kapitalis besar AS dari biaya pengembangan teknologi industri mereka—karena semua itu akan ditanggung negara dengan uang pajak yang diambil dari rakyat miskin (ingat, di AS kini para kapitalis dibebaskan dari pajak dengan alasan pertumbuhan ekonomi).

Ketiga, kebijakan militerisme ini juga tidak dapat dilepaskan dari upaya mencari sumber-sumber akumulasi modal baru. Upaya tersebut bahkan sejak lama dirumuskan, ketika masa pemerintahan Clinton. Sistem kapitalisme pada negara-negara imperialis adalah sistem yang sangat haus dana segar untuk terus dapat bertahan dan berkembang. Minyak bumi dan komersialisasinya menjadi penentu timbulnya sumber-sumber akumulasi ini. Tanpa dikuasainya minyak bumi Irak, pemulihan ekonomi kapitalisme global, terutama di daerah-daerah jarahan (Asia Tenggara, Afrika Utara, Amerika Latin) akan terus-menerus dalam kondisi suram.

Keempat, kapitalisme global sedang menghadapi krisis legitimasi ideologi yang justru bukan pada negeri-negeri jarahan, tetapi berkembang meluas di dalam negeri-negeri dunia pertama. Karena itu sangat penting bagi AS untuk memusnahkan negara-negara yang menjadi alternatif ideologis terhadap idelogi pasar bebas AS. Penghancuran Korea Utara dan Kuba akan dijadikan bukti yang akan dibawa oleh AS ke rakyat manapun bahwa pasar bebaslah yang akan menang.

Perang, Solusi Kapitalistik
Solusi Rakyat Miskin?

(dimuat dalam Pembebasan 07/2003)

Perang, Menuju Kehancuran Berikutnya Kapitalisme

Tidak ada istilah yang paling tepat untuk menjelaskan kecenderungan kapitalisme global saat ini kecuali penjajahan kembali (rekolonialisasi). Dengan sisa-sisa resesi yang masih berlanjut—sebagai akibat akut krisis kelebihan kapasitas produksi dan tingkat penumpukkan modal di atas kertas dan gelembung modal (financial bubble)—maka tidak ada jalan lain bagi kapitalisme global kecuali mengalihkan semua poros perampasan kerjanya ke dalam penguasaan langsung. Mengambil alih langsung semua aset-aset ekonomi dunia ketiga, lengkap dengan pemerintahannya. Jalan neoliberal tidak cukup ampuh menyelamatkan mereka dari krisis, reformasi-reformasi ekonomi politik bernuansa pasar di negeri-negeri dunia ketiga tidak lagi cukup untuk membiayai mesin-mesin ekonomi yang haus sumber daya alam, dan kompetisi antar imperialis yang haus perluasan pasar. Tidak. Tidak cukup. Negeri terbelakang harus diambil alih. Cakar-cakar imperialis harus kukuh menancap di negeri terbelakang agar tubuh mereka, negara-negara imperialis itu, yang sudah penuh kanker perjuangan kelas tidak terlalu cepat runtuh diterpa badai krisis yang akan terus datang bergelombang.
Sepanjang tahun 2002, berulang-ulang mereka menggombal, mencoba menghibur diri bahwa perekonomian akan membaik. Ternyata hanya cukup dua kuartals (kuartal II dan III tahun 2002) jari-jari mereka kembali mengetuk-ngetuk meja presentasi dengan gelisah sambil kening bersimbah peluh. Ketidakyakinan meluas di mana-mana. Sebagian dari mereka yang tadinya mengusung neoliberalisme kembali berani mengusung Keynesianisme. Sebut saja Joseph Stiglitz dan kawan-kawannya. Bagaimana tidak, sudah satu tahun resesi dinyatakan berlalu, tetapi angka penggunaan kapasitas produksi AS tidak kunjung beranjak keluar dari kisaran 75%. Bukankah neoliberalisme memperluas pasar? Kalau pasar diperluas, maka penggunaan kapasitas produksi akan mencapai angka maksimumnya? Tetapi angka real ekspor AS dari tahun 2000 sampai sekarang terus menurun dari US$ 75 milyar sampai US$ 62 milyar. Karena ekspornya menurun, maka tidak ada alasan lagi untuk membeli mesin-mesin canggih, sehingga angka pemesanan barang-barang teknologi tidak bisa melebihi US$ 28 milyar selama tiga tahun dan terus menurun. Bandingkan dengan puncaknya pada tahun 2000 yang mencapai US$ 44 milyar. Akibatnya sudah pasti, kaum buruh di dunia pertama dikorbankan (kali ini bersamaan dengan kamerad mereka di dunia ketiga). Antara tahun 2001 sampai Februari 2003 sudah sekitar 2 juta buruh menganggur. Dan dengan fakta mengenai ter PHKnya 75.000 pekerja Wall Street, membuktikan bahwa overkapasitas bukan hanya menjangkiti sektor real.
Karena itu mereka membutuhkan sebuah “poros pertumbuhan baru”, yang akan menjamin berjalannya ekspansi pasar di masa mendatang. Ini kemudian yang menempatkan posisi imperialis, terutama AS, sebagai kekuatan yang tak terbandingkan oleh kelompok kapitalis manapun. Dalam hal ini, persoalan minyak menjadi salah satu tumpuan mereka. Lihatlah bagaimana persaingan diplomatik AS-Inggris melawan Perancis-Jerman-Rusia, tak lama sebelum invasi ke Irak dimulai dalam rangka memperebutkan suara Dewan Keamanan PBB. Laporan yang dibuat Deutsche Bank dengan judul “Bagdad Bazaar: Big Oil in Iraq?”, memperlihatkan bahwa hasil dari proposal yang dibuat Perancis—berupa kontrak-kontrak minyak yang diberikan Saddam dalam tiga tahun terakhir kepada perusahaan-perusahaan minyak Perancis, Rusia, dan Cina—akan segera diwujudkan. Sedangkan jika proposal AS yang disepakati Dewan Keamanan PBB, maka perusahaan-perusahaan AS-lah yang akan mendapatkan keuntungan. Terutama pada pembukaan ladang-ladang baru di Padang Hijau (ChevronTexaco dan ExxonMobil dapat menjadi kontraktor manajemen cadangan minyak) ataupun perbaikan infrastruktur untuk mengembalikan kapasitas produksi Irak. Halliburton, misalnya, sewaktu di bawah kepemimpinan Dick Cheney (sekarang Wapres AS) mendapatkan keuntungan dari rehabilitasi fasilitas minyak Irak yang sebelumnya dihancurkan oleh serangan AS, yang juga melibatkan Cheney sebagai salah satu perencana.
Wilayah Irak merupakan wilayah konsentrasi minyak kedua terbesar di dunia setelah Arab Saudi, dengan cadangan minyak yang telah diukur mencapai 110 milyar barel (Arab Saudi mencapai lebih dari 250 milyar barel). Bahkan, eksplorasi lebih lanjut diperkirakan akan menemukan cadangan minyak hingga lebih dari 200 milyar barel. Sementara negara-negara imperialis dan non-OPEC sebagian besar memiliki cadangan minyak sekitar 50 milyar barel. Karenanya wilayah ini menjadi fokus perhatian kepentingan imperialis, dalam konteks bahwa minyak adalah komoditas yang menggerakkan mesin-mesin kapitalisme global. Pertama, kapitalisme global benar-benar bergantung kepada minyak, baik sebagai sumber energi maupun sumber kapital. Minyak adalah sumber energi yang masih dominan dalam masyarakat kapitalis, dan perdagangan minyak menyediakan sumber kapital untuk memperbesar kekuasaan oligarki finans. Kedua, jaminan keamanan bagi kelangsungan hidup kapitalisme sangat bergantung kepada kepastian pasokan dan harga minyak yang menguntungkan negara dunia pertama. Harga minyak yang mahal ataupun aliran pasokan minyak yang terganggu jelas akan mendorong krisis semakin dalam. Ketiga, penguasaan yang lebih besar atas pasokan minyak akan jauh melemahkan posisi negeri-negeri dunia ketiga, terutama jika perlawanan rakyatnya terhadap neoliberalisme melahirkan pemerintahan-pemerintahan yang berpihak kepada rakyat miskin (seperti Chavez, Castro, dan Lula dalam batasan tertentu).
Selanjutnya, selain kebutuhan mengamankan (baca: merampas) suplai minyak tersebut, tatanan imperial dunia yang saat ini terjadi juga berada dalam krisis. Desakan negara-negara imperialis terhadap negara-negara dunia ketiga untuk menjalankan kebijakan-kebijakan neoliberal telah melahirkan ketidakstabilan sosial politik di berbagai belahan dunia. Baik reaksi maupun perlawanan progresif telah mempersempit keleluasaan rejim-rejim kapitalis dunia ketiga. Gelombang-gelombang aksi massa anti globalisasi meningkat, bahkan terutama di negara-negara kapitalis induk.
Bentuk lain dari krisis sosial politik ini adalah runtuhnya rejim-rejim di Afrika dan Asia Tengah, yang kemudian melahirkan pemerintahan-pemerintahan semi-bandit ataupun ultra reaksioner. Rejim-rejim ini justru menyulitkan perluasan pasar, bahkan melahirkan ancaman baru terhadap kelancaran proses perampokkan melalui mekanisme pasar bebas. Munculnya Farah Aideed di Somalia dan Taliban di Afghanistan, jelaslah bukan gambar indah neoliberalisme yang diimpikan oleh Barat. Perluasan usaha pertambangan mineral di Afrika, melahirkan konflik-konflik berdarah yang diwarnai pembantaian massal atas suku tertentu, ataupun seperti saat ini, percampuran konflik antar agama dengan antar negara di Afrika Barat (Guinea, Sierra Leone, Liberia, dan Pantai Gading) yang telah menyingkirkan ratusan ribu pengungsi. Di Indonesia, tersingkirnya faksi-faksi kapitalis domestik dalam persaingan nasional, melahirkan konflik-konflik SARA berdarah, ketika mereka berupaya mendapatkan tanah dan sumber daya alam di beberapa daerah (misalnya, Ambon, Poso, dan Sambas).
Agresivitas imperialis AS ini juga berlanjut dengan upaya-upaya untuk menyelamatkan kredibilitas sistem kapitalisme yang diusung. Negara-negara yang terang-terangan menolak masuknya pengaruh AS, terutama yang memang lahir dari pemberontakkan terhadap dominasi AS (Kuba, Libya, Korea Utara), menjadi sasaran serangan berikutnya. Bukan hanya pencaplokan langsung, tetapi kapitalisme juga membutuhkan simbol-simbol kemenangan ideologis. Negara-negara tersebut, kecuali Korea Utara, memberikan sistem alternatif terhadap kapitalisme-neoliberalisme, meski jauh dari sempurna. Tujuan dari langkah ini adalah mematahkan perlawanan yang tumbuh di dalam negeri, yang kini mulai berani menawarkan alternatif terhadap pemerintahan kapitalis yang berkuasa.

Militerisme AS: Angkatan Perang Canggih demi Ambisi Imperial

Dalam perang kali ini untuk pertama kalinya manusia sedunia dapat menyaksikan jalannya pertempuran secara langsung melalui televisi. Laju gerak merangsek pasukan-pasukan ‘kolonial’ menghantam posisi-posisi pertahanan para patriot Irak. Monster-monster yang sering membuat banyak orang terpana, menunjukkan kemampuan mereka. Tank-tank M1A2 Abrams dan M2A3 Bradley bergerak dengan dukungan helikopter serbu AH-64 Apache dan pesawat anti-tank A-10 Thunderbot II. Sementara kita juga melihat begitu lengkapnya peralatan yang dibawa setiap prajurit Koalisi “Mereka Yang Berkemauan”, baik Inggris ataupun AS. Patriot-patriot Irak yang terpaksa diposisikan melindungi Saddam sang Tiran—bekas agen AS itu, jelas-jelas hanya bergantung kepada kemujuran peluru-peluru senapan AK-47 yang mereka miliki. Benar-benar sebuah pertempuran yang tak seimbang; meski sesekali monster-monster itu sanggup dijatuhkan oleh seorang petani, atau seorang prajurit biasa.
Dalam epos imperialisme abad 20, ketika kapital finans melalui negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga internasional yang mereka ciptakan menguasai manusia (kelas pekerja) dan sumber daya alam untuk menjadi sumber akumulasi kapital, pembangunan senjata menjadi begitu intensif, malampaui corak-corak produksi yang telah ada sebelumnya. Perlombaan senjata (proliferasi) tidak lagi sebatas ambisi individu-individu penguasa, melainkan sudah menjadi fondasi bertahannya sebuah ekonomi negara kapitalis maju (imperialis). Kekuatan militer menjadi faktor yang jelas-jelas dapat memaksa pemerintahan-pemerintahan negara kapitalis terbelakang untuk tunduk kepada negara kapitalis maju. Apalagi militerisme ini disebarluaskan kepada petinggi-petinggi militer negara dunia ketiga, terutama di saat-saat memuncaknya Perang Dingin.
Siapa yang tidak tahu, bahwa banyak jenderal-jenderal TNI dididik di West Point (AS), atau bahwa jenderal-jenderal negara persemakmuran dididik di Sandhurst (Inggris). Tanpa perlu mendatangkan Armada ke 7 AS di Pasifik ke Indonesia, jenderal-jenderal TNI itu sudah pasti akan bergidik ketakutan, dan dengan oportunisnya serta-merta menjadi agen imperialis AS.
Militerisme imperialis AS ini dapat dilihat dari struktur angkatan perang dan jenis senjata yang mereka pakai dan kembangkan. Sebelum penyusunan kekuatan menjelang serangan ke Irak saja, sudah tercatat sekitar 60.000 serdadu ada di 100 negara. Angkatan Perang AS meliputi 40% dari pembiayaan angkatan perang di seluruh dunia. Sebanding dengan jumlah seluruh biaya angkatan perang 8 negara urutan di bawahnya. Bahkan, Angkatan Perang AS telah membagi dunia menjadi 5 teritorial komando, Komando Utara, Komando Selatan, Komando Eropa, Komando Tengah, dan Komando Pasifik. Dalam laporan deploymen kekuatan yang diterbitkan oleh www.globasecurity.org, sangat jelas terlihat bagaimana kapal-kapal perang AS berpatroli “mengamankan” negeri-negeri yang akan, atau dalam proses dirampok oleh mereka.
Grup-grup tempur AS yang terdiri dari kapal induk dan belasan kapal perang permukaan serta kapal selam, dengan pesawat-pesawat tempur yang mereka bawa, pada esensinya tidak berbeda dengan kapal-kapal ekspedisi militer yang dipakai negara-negara imperialis kuno seperti Inggris pada abad 18-19. Tugasnya sangat jelas, mengamankan akses kepentingan AS atas suatu negeri, dan tentunya mendikte negara manapun yang menentang kepentingan AS. Dalam Quadrennial Defense Report Review 2001, laporan rencana kebijakan militer AS yang dibuat oleh Donald Rumsfeld, sangat jelas menyatakan bahwa salah satu sasaran kerja Departemen Pertahanan AS adalah bagaimana “mengirimkan dan mempertahankan kekuatan AS di lingkungan anti akses (AS) dan penolakan wilayah, serta mengalahkan ancaman-ancaman anti akses dan penolakan wilayah.”
Jika dalam masa Perang Dingin AS mengggunakan pertahanan gertak (deterrence) dengan persenjataan nuklir, maka kini imperial AS menggunakan serangan militer mendahului ancaman (preemptive strike), seperti yang ditegaskan George W. Bush. Kalangan moralis mungkin akan mengajukan tuduhan bahwa Bush sudah kurang waras dan membahayakan tatanan global. Jelas tidak, ini bukan karena ketidakwarasan Bush ataupun sebatas arogansi AS sebagaimana yang dituduhkan banyak pihak. Ini adalah suatu pilihan yang logis bagi sebuah negara imperialis. Dominasi AS di Amerika Latin, secara militer dan terang-terangan, telah dilakukan jauh sebelum Perang Dunia I. Begitu konsolidasi kapitalisme dalam negerinya dituntaskan melalui Perang Saudara (1861-1865), kapitalisme AS segera memperluas pasarnya, baik melalui penguasaan teritorial dengan agresi maupun dengan membuka paksa pasar-pasar negeri-negeri jauh. Armada Angkatan Laut dan Angkatan Darat AS telah berada di pantai utara Afrika, Filipina, Kepulauan Karibia, dan Cina. Militer AS juga sangat sering terlibat dalam upaya penindasan gerakan-gerakan rakyat miskin, jauh sebelum Perang Dunia I terjadi.
Namun berbeda dengan awal masa imperialisme, pencaplokkan yang saat ini terjadi bukan hanya menitikberatkan pengambilalihan sumber daya alam untuk menyokong pertumbuhan industri kapitalis. Pencaplokkan langsung tersebut adalah upaya menyelesaikan krisis kelebihan kapasitas dan akumulasi kapital yang menjadi tidak produktif. Melalui pembacaan yang mendalam akan terjelaskan mengapa jalan perang diambil pada titik-titik yang penting, sambil menjaga keutuhan hubungan penghisapan internasional yang sudah menguasai kapital finans. Perluasan yang dilakukan kapital finans jelas adalah sumber kekacauan sosial ekonomi politik, melalui program-program penyesuaian struktural (SAP) maupun melalui pembelian aset-aset sumber daya alam, seperti yang terjadi di Afrika. Tidaklah mengherankan dalam paper Globalization and US Navy Forces (Henry Gaffney, Jr.), terdapat sebuah bagan geopolitik yang menjelaskan hubungan dari negara-negara di dunia terhadap globalisasi, yang dengan jelas menggambarkan daerah-daerah yang mengalami kehancuran sosial ekonomi politik; yang meski kaya akan sumber daya alam akan tetapi dibiarkan pemerintahan-pemerintahan semi-bandit—yang merupakan kepanjangan tangan perusahaan-perusahaan multinasional—terus mengacau. Namun, paper tersebut juga mengajukan sebuah peta geopolitik sehubungan dengan sebuah konsep yang disebut “negara-negara yang gagal”, “daerah tak berfungsi”, yang dianggap sebagai sumber “ketidakstabilan”.
Di tengah krisis kapitalisme yang dalam dan ketidakstabilan sosial-ekonomi-politik menjelang keruntuhan kapitalisme seperti saat inilah, sebuah kekuatan militer imperial dikembangkan kembali untuk mendukung perang-perang kolonial ( yang mereka sebut “Perang Melawan Teror”). Kebijakan militerisme ini, jelas bukanlah yang pertama kalinya. Karena hal itu dapat terlihat beberapa pengulangan, sebagai bukti kebuntuan kapitalisme, peran dari kecenderungan ini. Pertama, sangat jelas sebagai kekuatan pemaksa dan pencaplokan aset kesejahteraan rakyat dunia ketiga. Kedua, adanya Perang “Melawan Teror” juga menyediakan pembenaran untuk mengkonsentrasikan kapital ke tangan faksi-faksi kapital yang menumpuk kekayaan dari industri berat, senjata, dan dirgantara, yang kini menjadi bagian dari pemerintahan George Bush. Ketiga, situasi perang juga memberikan alasan perampasan yang lebih besar dari pendapatan masyarakat, melalui pemotongan subsidi kesehatan, pendidikan, peningkatan pajak, dan lain sebagainya, untuk dialihkan ke sektor-sektor pembelanjaan negara yang memungkinkan perluasan modal, seperti proyek-proyek “kemanusiaan” paska perang (contohnya di Afghanistan, Balkan, dan Irak), belanja militer ataupun proyek-proyek luar angkasa/dirgantara. Kita dapat melihat, desakan perang juga diperlihatkan dengan anggaran belanja militer yang terus meningkat (tahun 2003 sebesar USD 396 milyar dan saat tahun 2007 sebesar USD 470 milyar). Jumlah kontrak proyek militer yang besar dan hanya dikuasai oleh lima perusahaan, sampai kepada mempersenjatai tentara kolonialnya untuk bertempur di kota-kota besar. Termasuk untuk menghadapi ancaman “klas-klas sosial yang berbahaya” di kota-kota induk kapitalisme global.
Dalam beberapa tahun belakangan, aspek dominasi militer juga telah memasuki ruang luar angkasa, di mana AS telah menghidupkan beberapa proyek “Perang Bintang”nya. Dalam Dokumen Vision 2020 yang disusun USAF dan juga Quadrennial Report 2001, sangat terlihat bagaimana ambisi imperial AS akan terpenuhi setelah adanya penempatan senjata-senjata strategis di luar angkasa. Sebelum peristiwa 11 September, AS telah menguji sistem anti rudal balistiknya (National Missile Defense, NMD) yang akan menghabiskan dana USD 50 milyar dalam tujuh tahun sejak 2001.
Inilah kesimpulannya; bahwa ketika kapitalisme mengalami stagnasi, ketika secara obyektif, satu-satunya syarat kemajuan aspek-aspek kehidupan manusia hanyalah terciptanya hubungan-hubungan sosial/relasi klas yang baru (bukan kapitalistik), maka dengan jelas kita melihat brutalitas militerisme menjadi jawaban mereka.

Setelah Perang, Rekolonialisasi

Kota Bagdad kini telah jatuh. Sementara negara Republik Irak sudah tidak jelas wujudnya dengan kaburnya para elit politik yang sebelumnya memerintah. Kini, terjadi kembali perdebatan antar negara-negara imperialis atas dua isu: pembangunan kembali Irak paska perang dan pemerintahan sementara. Kembali, kita melihat PBB yang sebelumnya “mengecam” serangan militer AS, sekarang menuntut hak untuk mendirikan pemerintahan transisi di Irak, dan sebagai elemen utama pembangunan kembali Irak. AS sendiri sudah memiliki organisasi pemerintahan sementara yang akan berada di bawah Komandan Koalisi Jenderal Tommy Franks dan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld. Organisasi ini bernama Kantor Bantuan Kemanusiaan dan Rekonstruksi (Office of Reconstruction and Humanitarian Assistance-ORHA) yang akan dipimpin Jenderal Jay Garner, bekas salah satu pimpinan pasukan sekutu pada perang Teluk tahun 1991. ORHA bahkan sudah didirikan jauh-jauh hari sebelum Bagdad jatuh.
Dengan situasi demikian, kita dapat kembali melihat sifat dasar dari PBB, yang tidak lebih dari lembaga yang mencoba “menertibkan” negara-negara yang baru merdeka agar tidak keluar dari rel nilai-nilai kapitalisme, dan kemudian menjadi alat “pasifikasi” negara-negara imperialis. Misi-misi perdamaian yang dilakukannya hanya sebatas menyapu sampah-sampah akibat pertempuran jarak jauh (proxy wars) antar imperialis sendiri, ataupun antara imperialis dengan negara dunia ketiga. Selama 12 tahun krisis Irak, sangatlah terlihat bagaimana negara-negara imperialis dengan semena-mena menghukum rakyat Irak (embargo) atas dosa yang dilakukan Saddam Hussein. Lebih parah lagi, PBB dijadikan alat pemerasan terhadap rakyat Irak dengan Program Minyak untuk Pangan, di mana 2 juta barel minyak per hari dirampas sebagai imbalan dibukanya embargo pangan oleh PBB. Organisasi ini bahkan menggunakan 1/3 dana hasil penjualan-paksa tersebut untuk membiayai operasional PBB di Irak, termasuk inspeksi senjata. Kita juga dapat melihat bahwa tanpa restu PBB sekalipun, tindakan AS-Inggris-Australia sudah dapat dianggap sah oleh PBB karena telah didasari oleh Resolusi 1441 PBB.

Belajar Dari Irak, Belajar Dari Vietnam

Tak lebih dari tiga minggu, akhirnya Bagdad jatuh ke tangan pasukan koalisi. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan kaum patriotik Irak dan pendukung Saddam tidak berarti, di tengah-tengah keraguan dan keputusasaan massa rakyat Irak. Kesetiaan prajurit-prajurit Irak dengan mudahnya terhempas oleh kekuatan pasukan koalisi yang super lengkap. Apalagi jika kita melihat pengalaman mereka Perang Teluk 1991, ketika Saddam memerintahkan perwira-perwira dan arsenal persenjataan terbaiknya untuk segera meninggalkan medan pertempuran, meninggalkan ratusan ribu prajurit biasa dihadapan taring pembantaian pasukan Sekutu. Sangat jelas terlihat begitu banyaknya omong kosong yang dikeluarkan para purnawirawan TNI yang menjadi “pengamat” militer tentang jebakan perang kota di Bagdad.
Jatuhnya Bagdad juga mengejutkan dunia ketika muncul aksi-aksi penjarahan yang dilakukan oleh warga Irak sendiri, terutama terhadap kantor-kantor pemerintahan, perwakilan negara asing, dan pemukiman kalangan elit pemerintahan Saddam yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya. Kondisi putus asa akibat embargo 12 tahun, di bawah kediktatoran yang memang menindas dan merampok rakyatnya adalah sumber dari kekacauan yang kini terjadi.
Apa yang terjadi di Irak jelas sangat jauh berbeda dengan yang terjadi di Vietnam tiga dekade silam. Perjuangan rakyat Vietnam untuk mengusir AS dari tanah air mereka jelas menghadapi kondisi yang jauh lebih ekstrim. Pasukan AS menghancur leburkan kota-kota Vietnam Utara, dan bertahun-tahun melakukan represi dan membangun benteng-benteng pertahanan di desa-desa. Namun kegigihan dan keuletan rakyat Vietnam pada akhirnya berhasil “menggulung” pasukan AS. Kesetiaan rakyat Vietnam jelaslah bukan karena kultus individu terhadap figur Ho Chi Minh, bukan juga karena represi yang dilakukan pemerintahnya, tetapi karena keyakinan atas harapan-harapan kemerdekaan, harapan-harapan atas masa depan program-program kerakyatan yang sedari awal dijalankan oleh pemerintah Vietnam Utara. Kegigihan dan keuletan itulah yang mendapatkan simpati dari rakyat AS. Simpati yang kemudian menjadi gerakan menolak perang dan mendorong situasi pergolakan massa di dalam negeri, sehingga memaksa pemerintahan Nixon berunding dengan pemerintah Vietnam Utara. Inilah yang tidak bisa diperoleh Saddam, meskipun gerakan menolak perang sudah cukup kuat di dalam negeri AS. Saddam lah yang bertanggung jawab atas ketidaksetiaan rakyatnya, Saddam lah yang mematikan demokrasi di Irak.
Hal yang kedua yang bisa ditarik dari pengalaman Vietnam dan Irak adalah bahwa kemenangan sesungguhnya dari perlawanan menghadapi perang imperialisme bukanlah sebatas kemenangan militer di negeri-negeri yang mengalami serangan, tetapi adalah bagaimana memenangkan solidaritas rakyat pekerja di negeri-negeri imperialis. Tindakan-tindakan politis mereka di pusat imperialis lah yang jauh lebih menentukan, dan tepat di jantung dari monster besar yang mengancam nyawa rakyat miskin dunia ketiga. Perang Vietnam terhenti akibat meluasnya gerakan anti-perang yang mendorong terjadinya situasi revolusioner di sebagian besar negeri di dunia. Begitu juga perang kolonial di Aljazair terhenti karena desakkan revolusioner di dalam negeri Perancis. Di tengah menguatnya gerakan anti-imperialisme saat ini, seruan-seruan aksi internasional haruslah terus-menerus disambut, untuk memberikan konteks dan arahan pada gerakan perlawanan terhadap rejim neoliberal.
Ketiga, sebagai suatu perspektif perlawanan global terhadap kekejian kapitalisme, tidak sedikitpun kita dapat membiarkan keleluasaan politik yang dialami rejim-rejim neoliberal di negeri-negeri dunia ketiga. Merekalah yang sebenarnya merupakan ujung tombak lainnya dari imperialisme. Kemunafikan rejim Mega-Hamzah harus terus-menerus disebarluaskan agar rakyat mengerti siapa sebenarnya elit politik yang berkuasa di lembaga-lembaga negara. Justru kekuatan dan ancaman imperialisme yang sedang dalam krisis akan semakin melemah jika rakyat miskin mengambil alih kekuasaan politik dan menghentikan program-program neoliberal. Dibandingkan hanya mengajukan isu boikot produk AS, atau lebih parah lagi, Jihad, menanamkan kepada rakyat perspektif perlawanan global terhadap imperialis dengan menghancurkan kaki-kaki mereka di dunia ketiga akan lebih berarti.

Serangan Atas Irak, Dominasi Global AS, dan Langkah Rekolonialisasi Dunia Ketiga
(dimuat dalam Pembebasan edisi 6,2003)

Dua Kepentingan Imperialis
Pada saat artikel ini ditulis, dua buah proposal resolusi Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa tengah diajukan. Yang pertama adalah proposal penggunaan serangan militer untuk melucuti “senjata pemusnah massal” yang dimiliki oleh Irak. Sebuah proposal yang sebenarnya sebatas mencari legitimasi badan internasional tersebut dan dukungan dari negara-negara imperialis lainnya. Meskipun begitu, dengan ataupun tanpa resolusi Dewan Keamanan, Pemerintahan Bush dan Blair menyatakan akan tetap melakukan serangan. Sedangkan proposal kedua berasal dari para “penentang perang”, Perancis dan Jerman, yang mengajukan solusi damai atas Irak. Meski berbeda sikap dalam penyelesaian problem Irak, kedua proposal sangat jelas mengatakan bahwa terdapat pelanggaran terhadap Resolusi 1441Dewan Keamanan PBB, yang menyebutkan bahwa Irak harus memusnahkan semua program-program persenjataan nuklir, biologi, dan kimia.

Kedua proposal adalah wujud adanya dua kepentingan imperialis yang bersaingan dalam penentuan kontrol atas minyak Irak. Laporan yang dibuat Deutsche Bank dengan judul “Bagdad Bazaar: Big Oil in Iraq?” memperlihatkan bahwa hasil dari proposal yang dibuat Perancis adalah kontrak-kontrak minyak yang diberikan Saddam dalam tiga tahun terakhir kepada perusahaan-perusahaan minyak Perancis, Rusia, dan Cina akan segera diwujudkan. Sedangkan jika proposal AS yang disepakati Dewan Keamanan PBB, maka perusahaan-perusahaan AS-lah yang akan mendapatkan keuntungan, terutama pada pembukaan ladang-ladang baru di Padang Hijau (ChevronTexaco dan ExxonMobil dapat menjadi kontraktor manajemen cadangan minyak) ataupun rehabilitasi infrastruktur untuk mengembalikan kapasitas produksi Irak (Halliburton, misalnya, sewaktu di bawah kepemimpinan Wapres AS sekarang Dick Cheney mendapatkan keuntungan dari rehabilitasi fasilitas minyak Irak yang sebelumnya dihancurkan oleh serangan AS yang juga melibatkan Cheney sebagai salah satu perencananya).

Wilayah Irak merupakan wilayah konsentrasi minyak kedua terbesar di dunia setelah Arab Saudi dengan cadangan minyak yang telah diukur mencapai 110 milyar barel (Arab Saudi mencapai lebih dari 250 milyar barel). Bahkan, eksplorasi lebih lanjut diperkirakan akan menemukan cadangan minyak yang lebih besar, hingga mencapai lebih dari 200 milyar barel. Sementara negara-negara imperialis dan non-OPEC sebagian besar memiliki cadangan minyak sekitar 50 milyar barel. Karenanya wilayah ini menjadi fokus perhatian kepentingan imperialis, dalam konteks bahwa minyak adalah komoditas yang menggerakkan mesin-mesin kapitalisme global.

Saat ini, perusahaan-perusahaan Rusia, Perancis, Belanda, dan Cina telah mendapatkan kontrak-kontrak pengeboran minyak sebesar US$ 3,8 milyar, dengan tingkat keuntungan 20%. Kontrak-kontrak tersebut memang sampai saat ini baru sebatas langkah politik Saddam Hussein untuk menyogok anggota-anggota Dewan Keamanan sebagai upaya menghambat AS dan Inggris mendapatkan legitimasi PBB. Menurut laporan Deutsche Bank tersebut, “Jika Saddam bertahan, maka perusahaan-perusahaan Rusia dapat mengambil peran manajemen ini (LUKoil atau Zarubezhneft).”

Kontrol atas minyak bukanlah sebatas keuntungan dari perdagangannya saja, akan tetapi merupakan salah satu bagian yang terpenting dari upaya menguasai dunia yang dilakukan sepanjang babak imperialisme abad 20. Pertama, tidak ada satupun aspek kehidupan masyarakat saat ini terlepas dari pengaruh pasokan minyak. Semua transportasi komoditas kebutuhan manusia terpengaruh oleh harga minyak. Dapat dikatakan, kapitalisme saat ini sangat bergantung pada harga dan pasokan minyak. Pada tahun 1973-1974, setelah Perang Arab-Israel, negara-negara OPEC dengan mudah menaikkan harga minyak empat kali-lipat (dengan mengurangi pasokan mereka), membuat ekonomi dunia berhenti dengan inflasi yang tinggi (stagflasi). Khusus untuk AS, negara ini memiliki ketergantungan atas minyak impor. Impor minyak mencapai 51% dari konsumsi minyak AS, dan mencapai 89% dari keseluruhan impor energinya. Keberlangsungan ekonomi negara-negara imperialis sangatlah bergantung pada keamanan pasokan sumber energi utama dunia ini. Selain itu, pertumbuhan baru ekonomi dunia (jalan kapitalistik untuk keluar dari resesi global) membutuhkan pasokan minyak yang lebih besar, seperti yang dinyatakan dalam studi yang dilakukan oleh American Petroleum Institute, “US Energy Policy, Economic Sanction and World Oil Supply”, yang dikeluarkan pada tahun 2001.

Dalam bentuk lain, uang yang dihasilkan dari keuntungan perdagangan minyak Timur Tengah kenyataannya tidak hanya dipakai untuk memperbaiki infrastruktur masyarakatnya. Oleh para penguasa Timur Tengah, seperti keluarga bangsawan Saudi, uang tersebut dimasukkan ke dalam spekulasi bursa saham dan ekuitas lainnya, yang pada dekade 90an menjadi dasar munculnya gelembung saham dotcom. Meskipun gelembung dotcom sudah pecah dan menyeret ekonomi dunia dalam resesi ekonomi internasional, oligarki finansial internasional tetaplah membutuhkan pasokan dana dari uang minyak tersebut.

Kedua, kontrol imperialis atas harga minyak adalah jalan untuk menyelamatkan kapitalisme dari krisis yang kini menjangkiti pusat-pusat imperialis. Dalam Laporan National Energy Policy Development Group (Laporan Cheney), terlihat jelas bagaimana harga energi (khususnya minyak dan gas) mempengaruhi ekonomi AS. DuPont, perusahaan AS terbesar yang memproduksi barang-barang olahan dari minyak dan gas bumi tahun lalu menghadapi kenaikan harga bahan baku sebesar US$ 1,3 milyar. Sementara konsumen AS, 74 juta berpendapatan menengah, mengalami kenaikan harga kebutuhan energi mereka. Sebagai contoh, harga gas untuk sistem penghangat rumah keluarga di Midwest mengalami kenaikan mencapai 73% dan di New England mencapai 27%. Harga energi yang tinggi, terutama yang berhubungan dengan minyak (kini harga minyak di AS, Texas Intermediaries, mencapai US$ 35 per barel), akan menghambat perbaikan ekonomi karena akan melemahkan daya beli masyarakat. Apalagi sampai saat ini ekonomi AS masih sangat tergantung pada sektor konsumsi.

Ketiga, secara politik internasional, kontrol atas minyak oleh negara-negara imperialis akan menerobos pertahanan terakhir posisi persaingan ekonomi negara-negara dunia ketiga, terutama negara-negara yang bergabung dengan OPEC. Selama ini, AS telah berhasil melemahkan posisi OPEC dengan memperbanyak pemasok minyak non OPEC. Ditemukannya sumber minyak di Laut Utara dan kemudian terbukanya akses atas ladang-ladang minyak bekas Uni Soviet membuat semakin lemah posisi OPEC. Baik dalam studi yang dilakukan oleh API maupun tim yang dipimpin oleh Wapres AS Dick Cheney, OPEC dilihat sebagai kartel yang menghambat, menjerat leher negara-negara maju yang menginginkan pertumbuhan ekonomi. Politik harga minyak OPEC yang selama ini dijadikan alat untuk meningkatkan pendapatan ekonomi negara-negara anggotanya dan dianggap oleh AS sebagai ancaman yang harus diselesaikan. Dalam laporan Cheney, AS direkomendasikan menggunakan diplomasi untuk negara-negara “bersahabat” seperti Arab Saudi dan Kuwait sehingga liberalisasi (privatisasi) minyak bumi terjadi.

Selain itu, gejolak perlawanan rakyat dunia ketiga, terutama di Timur Tengah, terhadap rejim-rejim agen Amerika melahirkan ketakutan adanya perebutan kekuasaan oleh gerakan reaksioner. Keterlibatan kalangan istana dan kapitalis Arab Saudi dalam kelompok-kelompok fundamentalis, sangat dikhawatirkan oleh kalangan kapitalis barat. Pada Economist edisi 13 Desember 2001, dalam artikel “A Dangerous Addiction” dituliskan bahwa terdapat ancaman jika rejim yang kini berkuasa ditumbangkan dan digantikan oleh kelompok-kelompok anti barat, yang kemudian rela melakukan penghentian ekspor minyak untuk menghukum barat, seperti yang dilakukan pada tahun-tahun pertama Revolusi Iran. Ini bukan sesuatu yang mustahil karena ada dua faktor yang kini mewarnai gerakan oposisi di Timur Tengah, yaitu bahwa semakin terkonsentrasinya sumber daya masyarakat yang dimakan oleh para Syekh Minyak (para bangsawan Arab) di tengah-tengah meluasnya pengangguran dan kemiskinan, dan yang kedua, kehadiran militer Barat di jazirah Arab merupakan bahan bakar yang mengobarkan sentimen anti Barat (anti AS). Kasus sengketa antara Taliban dan perusahaan-perusahaan minyak AS yang melatarbelakangi serangan ke Afghanistan adalah contohnya.

Konflik di antara pemerintahan-pemerintahan imperialis yang ada saat ini adalah salah satu bagian dari proses reorganisasi imperialisme, terutama sehubungan dengan kebutuhan faksi-faksi kapitalisme internasional mengamankan jalan keluar kapitalistik dari krisis yang dialaminya. Apa yang kini dipertaruhkan para negara imperialis sebenarnya adalah masa depan investasi dan pasar di energi dan sumber daya alam lainnya, sektor yang menjadi bagian terpenting bagi keberlangsungan ekonomi mereka. Bahkan jika perlu, menghancurkan kekuatan politik internasional saingannya. AS misalnya kini telah berhasil melemahkan posisi ekonomi dan politik Jerman dan Perancis di dalam Uni Eropa, setelah menggalang dukungan dari 8 negara Uni Eropa seperti Inggris, Spanyol, dan Italia. Tetapi, meski kondisi ini memiliki kemiripan dengan pertarungan perebutan pasar tanah-tanah jajahan yang melatarbelakangi Perang Dunia I dan II, rekolonialisasi yang berlangsung memang belum ada tanda akan melahirkan konflik bersenjata antara negara-negara imperialis. Hal ini disebabkan begitu besarnya kekuatan politik, militer dan ekonomi yang dimiliki AS, melampaui negara-negara imperialis lainnya.

Kebohongan Borjuasi Dunia Ketiga
Dalam pertemuan Gerakan Non Blok di Malaysia kemarin kita seperti disegarkan oleh pernyataan-pernyataan dukungan terhadap perdamaian yang dikeluarkan oleh pemimpin-pemimpin negara-negara dunia ketiga. Megawati dan Gloria Macapagal Arroyo (pers Filipina menyebutnya GMA), yang jelas-jelas pendukung penuh neoliberalisme, mengeluarkan keprihatinannya atas desakan perang yang dilakukan oleh AS dan sekutunya melalui proses di Dewan Keamanan PBB. Lebih jauh lagi, Mahathir Mohammad dan GMA hadir dalam rapat akbar perdamaian di negaranya masing-masing yang oleh puluhan ribu massa, dan menyerukan perdamaian. Namun, fakta-fakta malah memperlihatkan bahwa hal tersebut tidak lebih dari retorika populis saja.

Kebijakan-kebijakan kerja sama militer yang dilakukan oleh negara-negara tersebut, khususnya Indonesia dan Filipina, justru menunjukkan bahwa kedua negara ini memberi dukungan terhadap invasi AS atas Irak. Pemerintah Indonesia, Singapura, Filipina, dan Malaysia tidak melakukan tindakan pencegahan apapun terhadap pergerakan kekuatan laut AS yang melewati wilayah perairan mereka. Pada tanggal 16 Februari 2003, Grup Tempur Kitty Hawk yang terdiri dari kapal induk USS Kitty Hawk, kapal induk USS Essex, belasan kapal perang dan kapal selam, 8 skuadron pesawat tempur dan militer lainnya, melintasi Selat Malaka tanpa tindakan atau protes apapun dari pemerintah Indonesia ataupun Malaysia. Sebelumnya, 7 Desember 2002, Grup Tempur Constellation yang berkekuatan lebih kecil meninggalkan Singapura untuk selanjutnya menuju Teluk Persia melalui Selat Malaka. Dalam waktu mendatang, Grup Tempur Nimitz juga akan melalui Selat Malaka.

Apa yang dilakukan Mahathir, Megawati, dan GMA tampaknya adalah suatu manuver politik untuk mengelabui rakyatnya yang belakangan antusiasmenya terhadap kampanye anti perang meningkat. Khusus untuk Megawati, ia hanya berupaya menghilangkan peluru-peluru yang akan ditembakkan oleh rival politiknya dari kelompok-kelompok Islam, terutama setelah rally “Menolak Kedzaliman” yang dilakukan Partai Keadilan yang melibatkan puluhan ribu massa. Pandangan ini dilatari oleh tidak adanya bukti bahwa ketiga pemimpin negara itu akan menindak lanjuti statemen mereka dengan tindakan politik yang nyata untuk menolak/mencegah perang dan penyusunan kekuatan tempur AS yang kini sedang berjalan di Turki, Kuwait, Arab Saudi, Qatar, dan berbagai negara Timur Tengah lainnya, selain di perairan Teluk Persia itu sendiri.

Filipina saat ini malah secara diam-diam membiarkan tentara AS yang sedang ‘berlatih’ di sana untuk ‘ikut’ dalam memburu kelompok-kelompok Abu Sayyaf dan “Penculik untuk Tebusan” lainnya. Sebagai buktinya, beberapa bulan yang lalu terjadi penembakkan terhadap penduduk sipil Filipina oleh anggota tentara AS. Dan lucunya, pernyataan damai GMA yang dilakukan dihadapan ribuan massa itu tidak berarti pembatalan perjanjian (Visiting Forces Agreement dan Military Logistic Support Agreement) yang membolehkan militer AS berkeliaran dan menggunakan fasilitas militer di Filipina. Dalam bentuk yang lain, beberapa bulan yang lalu Megawati dan TNI membiarkan latihan bersama Marinir AS dan Marinir Indonesia di Surabaya dalam menghadapi kerusuhan massa, tanpa ‘melanggar’ hak asasi manusia.

Tuntutan Nyata Untuk Menghentikan Perang Imperialis
Saat ini kita telah melihat gerakan anti perang yang kira-kira hampir sebanding dengan yang terjadi dalam dekade 60an. Seruan demi seruan aksi internasional untuk menentang serangan AS atas Irak disambut oleh mobilisasi jutaan umat manusia. Pada tanggal 18 Januari, 14-16 Februari, dan 5 Maret 2003, merupakan pertanda dari bangkitnya sebuah gerakan internasional baru, di mana kelompok-kelompok anti globalisasi berhasil memperluas diri lebih jauh lagi daripada apa yang mereka capai pada periode 1999-2001. Bahkan, isu anti globalisasi neoliberal kini sudah menjadi landasan tuntutan anti perang, bukan sebatas isu-isu kemanusiaan. Slogan-slogan “No Blood For Oil” dan “Not In Our Name” merupakan slogan yang merepresentasikan penentangan terhadap ambisi buas rejim-rejim imperialis.

Namun, kini gerakan harus berkembang lebih maju lagi untuk memojokkan langkah-langkah persiapan perang AS. Tuntutan gerakan tidak boleh lagi abstrak, tetapi harus konkrit dan nyata sehingga dapat melahirkan tindakan politik yang lebih berdampak untuk melemahkan imperialisme. Apalagi jika tuntutan gerakan hanya sebatas menolak perang, maka hanya akan menjadi kendaraan faksi borjuasi internasional lainnya di luar AS untuk mengamankan kepentingan imperial mereka. Selain itu, tuntutan tersebut juga menyediakan perlindungan bagi borjuasi dunia ketiga sehingga mereka dapat mempertahankan posisi mereka di balik retorika perdamaian. Sampai saat ini tidak ada penolakan terhadap kehadiran pangkalan-pangkalan dan kesatuan-kesatuan militer AS di berbagai belahan dunia. Karena itu, tuntutan untuk mengenyahkan kehadiran kekuatan militer imperial AS adalah cara untuk memajukan gerakan menjadi gerakan anti imperialisme, anti kapitalisme.

Dapat dipastikan, seperti halnya yang dilakukan GMA, retorika anti perang tidak berarti dukungan terhadap bala tentara imperialis berhenti. Karena itu, penolakan terhadap kehadiran alat-alat perang AS, sampai dalam bentuk pengusiran atase-atase militer AS, akan memberikan konteks nasional dalam membuka borok agen-agen imperialis yang kini berkuasa di berbagai negara dunia ketiga.

Aliansi Perdamaian Asia
(dimuat dalam Pembebasan edisi 4, 2002)

Pada tanggal 28 Agustus – 1 September 2002 yang lalu, berlangsung sebuah pertemuan internasional yang melahirkan Aliansi Perdamaian Asia (APA – Asian Peace Alliance). Musyawarah pendirian APA ini dihadiri oleh sekitar 100 peserta dari berbagai kalangan dari dunia internasional, baik akademisi, aktivis LSM, perwakilan organisasi massa, dan beberapa partai politik.

Landasan Didirikannya APA
Kepentingan yang mendasari pendirian APA ini sangat beragam, sangat tergantung dari latar belakang para partisipannya. Hal ini dapat dilihat pada sesi pandangan umumnya. Para aktivis LSM yang terlibat misalnya, melihat sebatas penggunaan kekerasan militerisme yang belakangan ini meningkat seiring dengan kampanye internasional “Perang Melawan Terorisme” yang dimotori oleh Pemerintahan George Bush Jr. Namun partisipan lainnya yang berasal dari LSM dan ormas kerakyatan lebih melihat dari persoalan imperialisme yang kini kembali lebih mengandalkan militerisme sebagai jalan untuk membuka pasar di negara-negara dunia ketiga. Professor Walden Bello, Direktur Focus On Global South (LSM yang terlibat dalam kampanye anti globalisasi dan Forum Sosial Dunia) yang juga Presiden Partai AKBAYAN (Partai Aksi Warga Negara Filipina), menjelaskan soal krisis kapitalisme global yang semakin parah dan menggerogoti tatanan sosial ekonomi negara-negara imperialis.

Namun, sangat sulit memang bagi semua partisipan untuk menolak wacana yang melihat bahwa akar persoalan ini bermuara pada imperialisme. Apalagi ketelanjangan tindakan agresi AS dan sekutunya terhadap Afghanistan dan kampanye untuk menyerang Irak sudah cukup memberikan dasar munculnya sentimen spontan anti terhadap imperialisme, dan sekaligus memberikan pembenaran atas teori-teori yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok kiri dalam persoalan neoliberalisme.

Titik perhatian yang juga didiskusikan adalah persoalan politik etnis, sentimen keagamaan, ras dan nasionalisme yang banyak digunakan oleh para elit politik berbagai negara dunia ketiga. Kasus-kasus seperti di Maluku, Kashmir, persoalan pembakaran masjid di India, menjadi perhatian karena politik semacam ini meningkat seiring dengan perlombaan para elit politik lokal untuk mendapatkan/mempertahankan porsi kekuasaan untuk menjadi agen neoliberalisme atau untuk mempertahankan posisi ekonominya yang terancam oleh serangan dari imperialisme.

Sayangnya dalam hal ini, beberapa peserta yang terutama berkecimpung dalam bidang resolusi konflik justru kembali mencoba menguatkan argumen mereka yang menekankan bahwa gerakan yang harus dibangun adalah gerakan anti kekerasan. Sesuatu yang tidak adil di mana, sering kali rakyat terpaksa melakukan perlawanan dengan menggunakan kekerasan terhadap teror yang dilakukan oleh negara borjuasi, meski tidak menafikan penggunaan perundingan-perundingan damai sebagai salah satu alat menuju kemenangan perjuangan rakyat tersebut.

Perdebatan lainnya yang muncul adalah soal apa yang harus dilakukan oleh gerakan sosial dalam persoalan neoliberalisme dan kebijakan perang AS. Tampak kaum akademisi dan NGO perdamaian menghindari kesimpulan bahwa pada satu titik gerakan sosial anti imperialisme di masing-masing negeri, terutama negeri dunia ketiga, menghindari perebutan kekuasaan negara ataupun pemerintahan. Padahal, diakui bahwa tidak mungkin negara-negara imperialis mau menghentikan perang, tidak mungkin rejim-rejim neoliberal negara dunia ketiga mau menghentikan militerisme yang didorong AS, dan hanya gerakan sosial anti neoliberalisme dan perang yang mampu menghentikan perang dengan syarat adanya kontrol atas negara ataupun pemerintahan.

Agenda Kerja APA
Dua hari terakhir dari musyawarah pendirian APA, dirumuskan beberapa agenda kerja serta statemen pendirian APA. Ada beberapa poin yang menjadi agenda kerja APA:
1. Mengkampanyekan perlawanan terhadap dorongan “Perang Melawan Terorisme” AS, terutama kini penolakan terhadap agresi atas Irak.
2. Mengkampanyekan penolakan kebijakan militerisme AS, termasuk kampanye anti kehadiran militer AS di Asia, penolakan pembukaan pangkalan militer, penutupan pangkalan militer yang sudah ada, penolakan terhadap VFA (Visiting Forces Agreement - perjanjian kunjungan angkatan perang) yang kini sudah berlaku di Filipina.
3. Melakukan kerja-kerja penyelidikan dan penengah dalam konflik-konflik (antara lain konflik antar etnis), serta memastikan gencatan senjata dan perjanjian penyelesaian konflik.
4. Melakukan kerjasama dalam mengadakan workshop, seminar, dan kegiatan semacamnya secara internasional atau dalam acara-acara internasional lainnya, seperti dalam Asian Social Forum di Hyderabad, India pada Januari 2003.
5. Melibatkan diri dalam jaringan gerakan internasional anti globalisasi dan juga gerakan kerakyatan di tingkat nasional tiap-tiap negeri Asia.

Selain itu, aksi-aksi bersama secara internasional juga diambil sebagai jalan untuk mengkampanyekan isu-isu yang diperjuangkan oleh APA. Pada tanggal 1 September 2002, hari terakhir musyawarah, diadakan sebuah aksi yang diikuti oleh sekitar 150 orang yang terdiri dari partisipan, panitia, dan massa rakyat Filipina di depan Kedutaan Besar AS di Manila. Agenda aksi berikutnya adalah tanggal 6 Oktober 2002, untuk memperingati serangan AS terhadap rakyat Afghanistan, sebagai langkah untuk mengkampanyekan penolakkan terhadap perang imperialisme AS yang akan diperluas dengan cara mengagresi Irak.

Perkembangan Globalisasi: Kembalinya Militerisme
(dimuat di Pembebasan Edisi 3, 2002)


Pada kuartal pertama tahun 2002, semua media kapitalis, baik di Indonesia, maupun dunia, beramai-ramai mengabarkan sebuah berita: ekonomi dunia pulih. Indeks pasar-pasar saham berhasil kembali ke indeks sebelum 9 September, 2001. Indeks konsumsi dan industri juga meningkat yang, dalam buku-buku ekonomi liberal (yang bangkrut itu), dilihat sebagai peningkatan aktivitas ekonomi yang positif. Resesi telah berakhir, kata banyak ekonom. Resesi, yang paling mirip dengan situasi tahun 1929 dan paling lunak, telah berakhir, begitu teriak para pendukung globalisasi.

Tapi, dengan mudah, hanya beberapa bulan kemudian, harga-harga saham kembali merosot, nilai Dollar kini lebih rendah dari nilai Euro, usaha telekomunikasi global hancur berantakan, dan di dunia usaha terjadi sebuah krisis besar akibat manipulasi akuntansi di perusahaan-perusahaan raksasa. Lalu di mana semua perbaikan ekonomi yang digembar-gemborkan? Sekali lagi, setelah berulang kali, semua alat ukur (indikator) ekonomi yang diterangkan kaum borjuis ternyata terbukti bangkrut, tak mampu mengukur sistem ekonomi yang mereka sokong.

Mari kita lihat pertumbuhan ekonomi Amerika sebesar 5.8% pada kuartal pertama 2002, yang menggembirakan para kapitalis internasional. Meski sangat mengesankan, tapi jika dilihat komponen-komponennya ternyata tak terlalu mengesankan. Faktor pertama, pertumbuhan tersebut didorong oleh pemotongan aset perusahaan-perusahaan pada akhir tahun 2001, yang menghasilkan angka pertumbuhan sekitar 3%. Faktor kedua, adalah belanja pemerintah yang mendorong angka pertumbuhan sebesar 1.5%, yang didalamnya terdapat peningkatan anggaran belanja militer sebesar 20% per tahun. Faktor ketiga, adalah pembelanjaan konsumen yang mendorong pertumbuhan sebesar 2.6%. Sementara itu, investasi tetap (pembelian aset-aset untuk produksi) dan nilai ekspor justru merosot, memberikan pertumbuhan negatif sekitar 2%.

Apa makna perbaikan ekonomi seperti itu untuk kelas pekerja dan kelas-kelas terhisap di Amerika ataupun negeri-negeri maju lainnya? Pertama, angka pengangguran naik sampai ke tingkat 6%. Para kapitalis memecat para buruh untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, sehingga arus investasi tetap terjadi dan dengan harga saham yang tetap tinggi, karena para kapitalis finansial (bank dan manajemen dana) mengharapkan tingkat keuntungan yang tinggi saat mengucurkan dana mereka. Kedua, perkembangan demokrasi dihambat, guna mempertahankan stabilitas sistem politik mereka karena dipastikan keresahan sosial akan meningkat tajam (pemogokkan dan aksi-aksi buruh yang di-phk kini meningkat di negeri-negeri maju). Ketiga, di tengah meluasnya kemiskinan dan berkurangnya kesejahteraan, pemerintah negeri maju malah membelanjakan uang negara―uang yang dirampok dari rakyat miskin negeri maju atas nama nasionalisme―untuk kepentingan militer―perang terhadap Afghanistan dan rencana penyerbuan ke Irak―dan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar yang bangkrut. Sementara itu, pajak untuk kaum kaya dikurangi, bahkan kaum kaya dibebaskan dari pajak.

Itu lah salah satu alasan utama mengapa militerisme meningkat dan demokrasi dihambat di negeri-negeri maju. Bahkan, situasi ketegangan sosial, yang mulai meletup di mana-mana, dijadikan alasan ideologis yang diselubungi oleh kebijakan imperialisme: “Perang Melawan Terorisme”.

Pemerintah borjuis negeri maju punya banyak cara untuk membuat kebijakan tersebut agar kelihatan memiliki dasar. Menciptakan ketakutan massa, memompa histeria melalui media massa borjuis, dan rekayasa pengiriman virus anthrax lewat pos―kini terbukti bahwa virus anthrax yang disebarkan adalah virus yang diciptakan oleh proyek pengembangan senjata biologis Amerika Serikat (AS). Pembatasan imigrasi ditumbuhkan dengan meningkatkan sentimen rasialisme, karena terorisme digambarkan dari negara-negara dunia ketiga: Amerika Latin, Asia, dan Jazirah Arab.

Bukan kah kebijakan militerisme akan memancing instabilitas di mana-mana, di seluruh dunia? Bukan kah kini gerakan anti perang imperialis menyebar di seluruh penjuru dunia, menyatukan semangat anti globalisasi ke dalam pertempuran sengit melawan kapitalisme dunia? Dua pertanyaan ini akan menghantui kita, padahal masih banyak dari kita memandang kapitalisme sebagai sistem yang paling demokratis, memandang kapitalisme akan mendatangkan kemakmuran dan perdamaian. Itu lah yang selama ini dikatakan oleh segenap media borjuis di mana pun juga, yang dikatakan lembaga-lembaga borjuis seperti Bank Dunia dan Persatuan Bangsa-Bangsa. Jawaban dua pertanyaan itu adalah ya, akan merupakan beban yang harus dijawab.

Tapi kebijakan militerisme memiliki dimensi lain, yang harus dilihat dari kacamata atau pisau analisa yang berbeda. Kebijakan militerisme justru adalah kebijakan yang diandalkan kapitalisme untuk meredam instabilitas, karena instabilitas bukan hanya muncul dari perang, tetapi lebih dalam lagi: dari sistem kapitalisme yang selalu terkena krisis. Kebijakan militerisme, dalam bentuk ekstrim dua perang dunia (1914-1918 dan 1939-1945) dan perang dingin berkepanjangan (1948-1989), juga memiliki peran melayani kepentingan para kapitalis: perluasan pasar dan pembaharuan teknologi produksi.

Perang Dunia I (1914-1918) meletus setelah pembunuhan Prince Ferdinand, putra mahkota Imperium Austria-Hungaria, yang berkuasa di zazirah Balkan dan Eropa Tengah. Tapi yang menjadi bahan bakar perang, yang mengorbankan jutaan nyawa, adalah perebutan koloni-koloni di Timur Jauh (daratan Cina) dan Afrika, yang telah terjadi puluhan tahun sebelumnya, dan daerah-daerah industri yang dipersengketakan di Eropa Barat. Di daratan Cina, para kapitalis Jerman dan Inggris bersaing memperluas koloni mereka, yang mereka rampok setelah perang candu. Di zazirah Arab dan Mesir, kekuasaan Imperium Turki, yang melemah, membuat daerah yang kaya minyak dan di mana jalur utama perdagangan (Terusan Suez dan bagian timur Laut Mediterania), menjadi incaran kapitalis Inggris. Bahkan Konstantinopel (Ankara), yang menjadi ibukota Turki, dan bagian selatan Balkan (wilayah jajahan Turki), menjadi incaran kapitalis dan monarkis Rusia. Diawali dengan perlombaan pertumbuhan angkatan laut dan persenjataan yang mengiringi persaingan perluasan pasar, perdagangan, dan sumber-sumber bahan mentah di koloni-koloni, dengan mudah isu pembunuhan Pangeran Austria-Hungaria meletus menjadi Perang Dunia. Perang Dunia tersebut memiliki akhir yang diakibatkan situasi revolusioner pemberontakan para prajurit, kaum tani, dan kelas pekerja di negeri-negeri yang berperang (seperti revolusi Rusia 1917, revolusi Jerman 1918). Kemudian, terjadi pembagian wilayah-wilayah dunia melalui perjanjian Versailles. Tidak heran, jika Perang Dunia I dikatakan oleh banyak sejarawan sebagai perang yang mengakhiri perang-perang (kolonial) lainnya.

Penjatahan dunia, yang dihasilkan perjanjian Versailles, ternyata tak mengakhiri ketegangan politik antar imperialis dunia. Malahan booming ekonomi yang muncul justru melahirkan bencana yang lain: persaingan untuk perluasan pasar. Itu disebabkan kelebihan kapasitas produksi di negeri-negeri imperialis seperti AS dan Inggris. Resesi ekonomi 1929 adalah titik di mana para kapitalis mulai memikirkan perluasan pasar.

Dalam keadaan booming, harga-harga saham jelas meroket, dan membuat kaya para calo saham, kapital finans, dan memungkinkan investasi besar-besaran industri manufaktur. Namun seiring dengan bertambahnya jumlah barang-barang yang diproduksi, tingkat keuntungan menurun karena itu, untuk memenangkan persaingan, para kapitalis menurunkan harga barang-barang mereka. Tapi, persoalannya, kapasitas produksi yang berlebih itu adalah hasil dari investasi yang besar―terutama dalm peningkatan teknologi untuk mengatasi pesaing-pesaing mereka―yang juga mengharapkan keuntungan yang tinggi. Begitu menyadari tingkat keuntungan yang terjadi lebih rendah dari harga saham, para investor beramai-ramai menarik dana mereka, melepas saham-saham mereka di pasar (stockmarket crash).

Kembali, untuk menyalurkan kelebihan kapasitas produksi, para kapitalis merasa perlu memperluas pasar. Bahkan kalau perlu menghancurkan kapasitas produksi saingan mereka. Adolf Hitler berkata Lebensraum (Ruang Hidup) untuk menyatakan kebutuhan kapitalis Jerman memperluas pasar di Eropa. Bahkan banyak kapitalis Amerika, yang terlibat dalam industri-industri Jerman, ikut berinvestasi dalam industri mesin-mesin perang Jerman, karena politik netral dan isolasi Amerika. Di belahan bumi lainnya, lemahnya kapitalis Perancis dan Belanda di Asia Tenggara membuat Amerika dan Jepang terlibat perang dagang, yang berujung pada embargo minyak bumi atas Jepang. Semua konflik komersial itu berakhir dengan Blitzkrieg (serangan kilat) Jerman untuk merebut Gdansk (kota pelabuhan dan industri Polandia) dan serangan Jepang atas Pangkalan AS di Pearl Harbor.

Tapi, jauh sebelum 1939, kebijakan militerisme dan intervensi militer telah dilakukan oleh negeri-negeri imperialis. Salah satu sektor kapasitas industri yang berlebih, terutama baja dan mesin-mesin berat, digunakan untuk mengembang industri senjata, dan diarahkan oleh Pemerintahan Roosevelt sebagai bagian perbaikan ekonomi setelah resesi. Jepang memperluas imperiumnya ke dataran Manchuria (utara Cina) padahal, di sana, AS memiliki kepentingan komersial. AS juga mengerahkan tentaranya membantu Chiang Kai Sek, Jenderal Kuomintang. Di Eropa, revolusi Spanyol meletus setelah Jenderal Franco berupaya mengkudeta pemerintahan aliansi kaum sosialis dan demokrat yang menang melalui pemilu. Pasukan Franco terdiri dari para pendukung jenderal-jenderal kanan, tuan tanah, kapitalis, dan gereja katolik, dengan dukungan alat-alat perang baru dari Jerman dan Italia.

Perang-perang tersebut dengan gamblang memperlihatkan kepentingan perluasan pasar para kapitalis. Tapi kita tak boleh melupakan bahwa di balik itu para kapitalis memanfaatkan perkembangan teknologi militer untuk mengembangkan teknologi produksi mereka. Pembangkit listrik tenaga nuklir, yang luar biasa murah dalam menghasilkan listrik, adalah hasil dari pengembangan bom atom. Penempatan satelit, yang memajukan komunikasi dunia, adalah hasil dari pengembangan rudal-rudal balistik Jerman. Komputer, adalah hasil dari pengembangan mesin-mesin kode rahasia Jerman dan Inggris. Bahkan manajemen transportasi, yang kini berkembang, adalah hasil pengembangan perencanaan pendaratan pasukan besar-besaran yang terjadi di Pasifik, Afrika, dan Eropa Barat. Begitu banyak keuntungan yang diperoleh para imperialis dari kebijakan militerisme mereka.

Kepentingan pasar para kapitalis juga lah yang kemudian menghasilkan perang dingin dan perang-perang terbuka di Alzazair, Vietnam, Kamboja, dan daerah-daerah lainnya. Bahkan, meski mereka menggunakan isu demokrasi untuk menghabisi Jerman, Italia, dan Jepang, para imperialis juga menciptakan (atau setidaknya membantu proses tersebut) rejim-rejim otoriter, sebagian besar mengusung dominasi militer, seperti rejim Soeharto, junta-junta militer di Amerika Latin, dan berbagai tempat lainnya.

Kondisi krisis yang memuncak pada pertengahan tahun 2001 akhirnya membuat para kapitalis kembali kepada kebijakan militerisme. Hal tersebut disebabkan berbagai kebutuhan mendesak para kapitalis untuk menjaga posisi kelas mereka.

Pertama, perlawanan terhadap kapitalisme, dalam isu anti globalisasi, telah mencapai tingkat mobilisasi massa yang tinggi. Bahkan perlawanan tersebut telah melahirkan cikal bakal kerja sama antar rakyat dari berbagai negeri untuk melawan kapitalisme, yang telah berwujud dalam bentuk mobilisasi puluhan sampai ratusan ribu massa untuk memprotes setiap pertemuan para kapitalis dunia. Sampai-sampai, pertemuan WTO dipindahkan ke Doha, Qatar, karena rasa takut kapitalisme atas militansi perlawanan anti kapitalisme. Kini, menyebarluas ke seluruh dunia, baik di negeri-negeri maju atau pun negeri-negeri Dunia Ketiga, usaha-usaha untuk merampas demokrasi dengan memberlakukan undang-undang anti teroris―yang mengijinkan pengintaian terhadap organisasi atau individu yang digolongkan berpotensi menjadi teroris, penangkapan atas dasar kecurigaan, dan penahanan tanpa batas. Jika dilihat definisi terorisme yang ada di semua undang-undang, aksi mogok, pemogokkan umum, dan sejenisnya dapat digolongkan sebagai terorisme. Pemerintahan Bush baru-baru ini menambahkan 37 milyar dolar ke dalam anggaran pertahanan dalam negeri yang sudah mencapai 29 milyar dolar, seiring dengan pembangunan Departemen Keamanan Dalam Negeri, dan penambahan kekuasaan serta tenaga kepolisian.

Kedua, seperti dalam krisis kapitalisme yang melatar belakangi Perang Dunia II, ada kebutuhan kapitalisme untuk menyelamatkan industri-industri besar yang mengalami kelebihan kapasitas produksi dengan mengedepankan kembali pengembangan industri militer. Tahun ini, Kongres AS menyetujui penambahan 30 milyar dolar atas anggaran militer AS, sehingga mencapai 330 milyar dolar (sepuluh kali lipat dari APBN Indonesia). Untuk program pengembangan pesawat tempur baru, AS akan menghabiskan 200 milyar dolar selama sepuluh tahun. Program perlindungan AS terhadap rudal balistik akan menghabiskan 70 milyar dolar selama 5 tahun. Selain menyelamatkan dunia industri, program-program militer tersebut bisa dipastikan akan menutup pembiayaan pengembangan-pengembangan teknologi baru, membebaskan para kapitalis besar AS dari biaya pengembangan teknologi industri mereka, karena semua itu akan ditanggung negara dengan uang pajak yang diambil dari rakyat miskin―ingat, di AS, kini para kapitalis dibebaskan dari pajak dengan alasan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, kebijakan militerisme itu juga tak dapat dilepaskan dari upaya untuk mencari sumber-sumber akumulasi modal baru. Upaya tersebut bahkan sejak lama telah dirumuskan, ketika masa pemerintahan Clinton. Sistem kapitalisme negeri-negeri imperialis adalah sistem yang sangat haus dana segar agar bisa terus bertahan dan berkembang. Bagi kapitalisme AS, sumber yang paling mungkin untuk saat ini adalah pemipaan minyak dari daerah Baku, Kaspia melalui zazirah Balkan―yang melahirkan konflik berkepanjangan di Balkan―dan dari republik-republik bekas Uni Soviet di Asia Tengah melalui Afghanistan dan Pakistan―sebelumnya pemerintah Taliban membatalkan kontrak jalur pipa dengan Unocal, perusahaan AS. Tak seperti imperialisme lama, yang hanya sebatas mengincar bahan mentah dan posisi strategis perdagangan, imperialisme AS bermakna: membuka pasar-pasar baru terhadap produk-produk komoditi AS dan pembesaran dana segar untuk masuk ke industri-industri AS, yang dihasilkan dari komersialisasi pemipaan minyak bumi tersebut. Jangan heran jika pos-pos tentara AS di Afghanistan akan sejalan dengan jalur pipa minyak tersebut. Juga, jangan heran, bila terdapat 5.000 rakyat tak berdosa Afghanistan tewas akibat gempuran bom AS.

Kebijakan militerisme AS tersebut jelas memiliki pengaruh dalam perkembangan politik Indonesia, terutama menguatnya kembali militerisme dalam tubuh pemerintahan Megawati-Hamzah Haz. Hal itu disebabkan ketergantungan yang sangat tinggi pemerintahan Megawati-HamzahHaz terhadap modal AS. Apalagi sekarang, Kongres AS telah menyetujui pencabutan embargo produk-produk militer kepada TNI. Banyak bukti dalam perkembangan politik sekarang ini.

Pertama, desakkan AS atas pemberlakuan UU Anti Terorisme dengan segera disokong oleh Megawati, dan dengan segera juga dibahas dan diselesaikan oleh DPR. UU Anti Terorisme tersebut juga diikuti dengan serangkaian UU yang tak kalah reaksionernya: UU Kebebasan Informasi dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Kedua, posisi TNI meningkat dengan pengiriman-pengiriman pasukan untuk menindas konflik-konflik di daerah―dengan jubah anti separatis. Militer, yang sebelumnya menjadi bahan bakar konflik di Ambon, kini mencoba mengambil posisi juru selamat. Persoalan Aceh, yang telah meningkat menjadi persoalan kebangsaan, sebagai akibat penindasan yang dilakukan TNI pada masa lalu, kini oleh Megawati dijadikan daerah darurat militer. Semua itu jelas-jelas merupakan upaya mempercepat proses pembungkaman demokrasi.

Dalam kondisi-kondisi demokrasi yang semakin menyempit lagi, karena desakkan dari imperialisme, sangat penting, bagi gerakan demokrasi di Indonesia, untuk menyatukan kekuatan dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang kini berkuasa. Tanpa hal tersebut, semua hasil yang dicapai oleh gerakan reformasi 1998 akan menguap, tanpa makna.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?